Refleksi Live in sosial tgl 7 – 11 Oktober
Saya bertiga live in di Muara Angeke, Berawal dari Katedral menemui orang LDD (Lembaga Daya Darma ) untuk membawa saya berserta yang lain ke tempat saya live in. Saya bertemu Pak Purwandi selaku pihak muara angke yang akan mendampingi saya bersama Nesta dan Endar. Mendengar cerita dari Pak Purwandi mengenai situasi Muara Angke yang banyak nyamuk dan bau , membuat kami semakin tertantang untuk memulai live in kami.
Sesampainnya di Muara Angke kami langsung disambut oleh bau yang berbeda dari yang lain, bau yang aneh dan tidak enak untuk dicium. Yaitu bau ikan asin dan bau laut. Dari situ saya mulai merasa penasaran tentang apa yang nanti akan saya lakukan dalam live in ini. Kemudian saya bertemu Ibu Aisa yang menjadi orang tua asuh selama hidup di Muara Angke ini. Saya dan yang lain mendapat tempat tinggal didalam rumah sekolah, atau bisa dibilang sebuah ruangan untuk bersekolah atau belajar bagi anak-anak yang ada berada disana.
Hari pertama ini saya mulai mengenal orang-orang yang berada disana , atau bisa dibilang komunitas Muara Angke. Yang sebagian besar merupakan nelayan dan pengelolah ikan laut. Saya mengitari tempat mereka bekerja hampir semua berkelut dengan ikan, entah menangkap ikan, atau menjemur ikan, menguliti ikan, mengoreng ikan , sampai menjual ikan. Semua menjadi keseharian komunitas disana. Saya bertemu dengan anak-anak disana yang menjadi pendamping bagi orang-orang yang terbiasa live-in disini. Mereka adalah anak-anak seusia saya yaitu anak dari ibu Aisa yaitu Santi , ia bersama teman-temannya mendampingi saya dalam menjalani live in.
Melihat kenyataan bahwa hidup itu sulit dan berat. Karena realitas yang saya temukan di muara angke ini, yaitu saya melihat banyak pemuda yang megolah limbah dari laut dengan alat-alat berat. Mereka bekerja diterangi cahaya matahari yang panas sehingga membuat kulit mereka hitam kelam. Dalam kesibukan mereka saya melihat gedung menjulang tinggi menjadi latar belakang mereka bekerja. Gedung-gedung itu adalah perumahan Pantai Indah Kapuk yang menjadi perumahan yang elite bagi orang-orang menengah keatas.
Terlihat kesenjangan sosial yang sangat jelas di kawasan Muara Angke ini. Hari-hari saya lewati dengan banyak hal, saya mengajar anak-anak SD, mereka belajar di rumah sekolah yang menjadi tempat tinggal saya maka dari itu saya dan yang lain mengajar mereka. Salah satu anak yang menjadi asuhan saya adalah Solihin, ia adalah adik dari Santi yang menjadi pendamping saya.
Solihin anak SD yang suka sekali bermain, saya sering diajak untuk bermain kelereng . yang menarik dari anak ini adalah ia sangat bahagia hidup dalam keterbatasan walaupun ia sering mengeluh dalam kesehariannya, tapi kecerian selalu ada dalam diri anak tersebut. Saya sendiri salut melihat anak itu , berbeda dengan diri saya sendiri yang sangat suka mengeluh tengtang apapun.
Mengeluh selamanya tidak akan menghasilkan apa-apa. Hal ini yang menjadi makna yang saya terima dari live in ini. Karena sekilas dari pengelihatan saya kepada orang-orang muara angke mereka jarang sekali mengeluh, mereka lebih banyak bergembira, tersenyum. Berbeda dengan saya yang bisa dibilang tercukupi namun masih suka mengeluh.
Saya sebagai seminaris harus bisa memandang sebuah keluhan atau suatu masalah dari segi positif bukan dari aspek pribadi yang pastinya hanya akan menimbuna keluhan-keluhan yang tidak ada artinya. Untuk itu saya harus bisa berhenti banyak mengeluh dan mencoba mengadapi semua dengan senyuman. Dengan begitu hidup yang saya jalani akan terasa menyenangkan dan tanpa beban.
Saya bertiga live in di Muara Angeke, Berawal dari Katedral menemui orang LDD (Lembaga Daya Darma ) untuk membawa saya berserta yang lain ke tempat saya live in. Saya bertemu Pak Purwandi selaku pihak muara angke yang akan mendampingi saya bersama Nesta dan Endar. Mendengar cerita dari Pak Purwandi mengenai situasi Muara Angke yang banyak nyamuk dan bau , membuat kami semakin tertantang untuk memulai live in kami.
Sesampainnya di Muara Angke kami langsung disambut oleh bau yang berbeda dari yang lain, bau yang aneh dan tidak enak untuk dicium. Yaitu bau ikan asin dan bau laut. Dari situ saya mulai merasa penasaran tentang apa yang nanti akan saya lakukan dalam live in ini. Kemudian saya bertemu Ibu Aisa yang menjadi orang tua asuh selama hidup di Muara Angke ini. Saya dan yang lain mendapat tempat tinggal didalam rumah sekolah, atau bisa dibilang sebuah ruangan untuk bersekolah atau belajar bagi anak-anak yang ada berada disana.
Hari pertama ini saya mulai mengenal orang-orang yang berada disana , atau bisa dibilang komunitas Muara Angke. Yang sebagian besar merupakan nelayan dan pengelolah ikan laut. Saya mengitari tempat mereka bekerja hampir semua berkelut dengan ikan, entah menangkap ikan, atau menjemur ikan, menguliti ikan, mengoreng ikan , sampai menjual ikan. Semua menjadi keseharian komunitas disana. Saya bertemu dengan anak-anak disana yang menjadi pendamping bagi orang-orang yang terbiasa live-in disini. Mereka adalah anak-anak seusia saya yaitu anak dari ibu Aisa yaitu Santi , ia bersama teman-temannya mendampingi saya dalam menjalani live in.
Melihat kenyataan bahwa hidup itu sulit dan berat. Karena realitas yang saya temukan di muara angke ini, yaitu saya melihat banyak pemuda yang megolah limbah dari laut dengan alat-alat berat. Mereka bekerja diterangi cahaya matahari yang panas sehingga membuat kulit mereka hitam kelam. Dalam kesibukan mereka saya melihat gedung menjulang tinggi menjadi latar belakang mereka bekerja. Gedung-gedung itu adalah perumahan Pantai Indah Kapuk yang menjadi perumahan yang elite bagi orang-orang menengah keatas.
Terlihat kesenjangan sosial yang sangat jelas di kawasan Muara Angke ini. Hari-hari saya lewati dengan banyak hal, saya mengajar anak-anak SD, mereka belajar di rumah sekolah yang menjadi tempat tinggal saya maka dari itu saya dan yang lain mengajar mereka. Salah satu anak yang menjadi asuhan saya adalah Solihin, ia adalah adik dari Santi yang menjadi pendamping saya.
Solihin anak SD yang suka sekali bermain, saya sering diajak untuk bermain kelereng . yang menarik dari anak ini adalah ia sangat bahagia hidup dalam keterbatasan walaupun ia sering mengeluh dalam kesehariannya, tapi kecerian selalu ada dalam diri anak tersebut. Saya sendiri salut melihat anak itu , berbeda dengan diri saya sendiri yang sangat suka mengeluh tengtang apapun.
Mengeluh selamanya tidak akan menghasilkan apa-apa. Hal ini yang menjadi makna yang saya terima dari live in ini. Karena sekilas dari pengelihatan saya kepada orang-orang muara angke mereka jarang sekali mengeluh, mereka lebih banyak bergembira, tersenyum. Berbeda dengan saya yang bisa dibilang tercukupi namun masih suka mengeluh.
Saya sebagai seminaris harus bisa memandang sebuah keluhan atau suatu masalah dari segi positif bukan dari aspek pribadi yang pastinya hanya akan menimbuna keluhan-keluhan yang tidak ada artinya. Untuk itu saya harus bisa berhenti banyak mengeluh dan mencoba mengadapi semua dengan senyuman. Dengan begitu hidup yang saya jalani akan terasa menyenangkan dan tanpa beban.
Posting Komentar